Perpustakaan Dilan (Digital Melayani)

 

Dunia perpustakaan di Indonesia dalam satu dekade terakhir berkembang demikian pesat. Digitalisasi koleksi banyak dilakukan dan sistem otomasi semakin banyak digunakan di berbagai tingkatan perpustakaan. Perpustakaan berkembang tidak hanya pada kondisi fisik saja, tetapi berjalan melangkah ke arah digital yang terkomputerisasi dan terhubung dalam jaringan (daring). Pandemi Covid-19 menjadikan percepatan "DILAN" di dunia perpustakaan menjadi keniscayaan.

Meminjam istilah dari Presiden Joko Widodo setahun silam, yang beliau sampaikan dalam debat pemilihan Presiden 2019 pada 30 Maret 2019. Saat itu dalam kapasitas beliau sebagai calon presiden petahana (incumben) melontarkan istilah "DILAN". Dilan yang dimaksud di sini bukanlah sosok tokoh utama dari trilogi film Dilan yang sangat populer itu. Dilan di sini merupakan akronim dari frasa Digital Melayani.

Pendemi Covid 19 yang terjadi 4 bulan terakhir ini telah mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Semua sektor kehidupan, mulai dari kesehatan, pemerintahan, pendidikan, ekonomi, hingga kemasyarakatan mau tak mau harus melakukan adaptasi kebiasaan baru (AKB) untuk bisa survive melewati masa pageblug ini menuju era normal yang baru. Dunia perpustakaan pun harus demikian.

Kebutuhan akan pelayanan perpustakaan secara digital menjadi amat terasa di masa pandemi Covid 19 saat ini. Hal ini terutama terjadi selepas Pemerintah mengeluarkan kebijakan KdR (Kerja dari Rumah) dan BdR (Belajar dari Rumah) beberapa saat yang lalu. Dampaknya tidak sedikit perpustakaan di berbagai jenjang, mulai dari Perpustakaan Desa, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, Perpustakaan umum daerah, hingga perpustakaan nasional menghentikan sementara layanan mereka.

Setelah beberapa waktu, beberapa perpustakaan yang siap dengan pelayanan daring (dalam jaringan/online) dan memiliki infrastruktur internet yang baik mulai memindahkan layanan fisik ke ruang daring. Perpustakaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, misalnya, pada pertengahan Maret lalu, berdasarkan Surat edaran rektor UII nomor 1050/Rek/10/SP/III/2020 tentang Kerja dari rumah untuk mitigasi penyebaran Covid 19, menutup sementara seluruh layanan perpustakaan yang bersifat fisik dan mengoptimalkan layanan daring yang memang sebelumnya sudah ada, seperti layanan koleksi digital/e-resurces, katalog online, layanan cek plagiarisme, hingga layanan bebas pustaka yang kesemuanya dilakukan secara daring.

Perpustakaan nasional (Perpusnas) RI pun sama, terhitung mulai 16 Maret yang lalu menutup layanan fisiknya dan mengoptimalkan pula layanan daring mereka melalui beberapa aplikasi perpustakaan digital milik Perpusnas, seperti Indonesia One Search (IOS), i-Pusnas, Akses Layanan ISBN, Khastara (Khasanah Pustaka Nusantara), e-resorces, hingga e-deposit.

Perpustakaan sekolah pun tak ketinggalan. Perpustakaan SD Khalifa IMS Tagerang, misalnya, selain layanan katalog online yang sudah ada, perpustakaan tersebut juga membuka layanan perpustakaan digital berbasis Epic Digital Library untuk seluruh sivitas akademika di sana.

Akan tetapi memang tidak kita pungkiri, bahwa belum semua perpustakaan siap akan hal ini. Utamanya perpustakaan-perpustakaan yang berada di daerah dengan kondisi, fasilitas dan infrastruktur yang belum mendukung untuk layanan digital berbasis jaringan (daring).

Pelayanan dan layanan proaktif

Pandemi Covid 19 diyakini akan mendorong dunia perpustakaan di Indonesia untuk semakin cepat memindahkan basis data dan seluruh layanan mereka secara daring. Dalam situasi krisis seperti saat ini, banyak pihak mulai semakin menyadari bahwa pelayanan secara fisik semakin tidak memungkinkan. Pelayanan perpustakaan secara digital akan menggantikan pelayanan perpustakaan secara fisik, bukan hanya sementara, melainkan untuk seterusnya. Hal ini pula yang harus dipahami oleh seluruh stake holder di dunia perpustakaan.

Dalam hal ini, kita bisa mengadopsi pendapat Direktur Pengembangan, E-Governance Academy Estonia, Hannes Astok (Kompas, Kamis 18 Juni 2020) yang menyatakan pelayanan publik di masa mendatang akan ditandai dengan empat karakteristik utama : simplifikasi pelayanan (menyederhanakan pelayanan), proaktif, berlangsung selama 24 jam sehari selama 7 hari dalam sepekan, dan intuitif.

Keberadaan Sistem Otomasi, Big data, Artificial Intelegent (AI), hingga IoT (Internet of Thing) saat ini yang sudah mulai merambah di dunia perpustakaan akan memungkinkan perpustakaan memberikan layanan terbaik mereka kepada pemustaka bahkan sebelum pemustaka tersebut menyampaikan keinginan mereka akan suatu layanan kepada perpustakaan. Sebagai contoh, seperti dengan adanya IoT memungkinkan perpustakaan memberikan layanan rekomendasi (Recomendation Service) kepada pemustaka. IoT bisa menggunakan basis data yang dimiliki perpustakaan untuk memberikan rekomendasi layanan kepada pemustaka yang disesuaikan dengan minat dan kebiasaan pemustaka tersebut berdasarkan berbagai data terkini (real time data) pemustaka dan juga sejarah peminjam (loan history) mereka. Seperti misalnya ketika seorang pemustaka mencari koleksi perpustakaan untuk mendukung penelitiannya, maka maka sangat dimungkinkan perpustakaan menyarankan sumber daya lain yang dimiliki oleh perpustakaan yang bisa digunakan pemustaka untuk  melengkapi kebutuhan penelitiannya tersebut. (Teguh Prasetyo Utomo, Potensi Implementasi Internet of Thing (IoT) Untuk Perpustakaan, Buletin Perpustakaan UII Volume 2 Nomor 1, Mei 2019, hlm 12).

Berdasarkan basis data yang ada, Perpustakaan bisa mengetahui kapan pemustaka harus melakukan registrasi ulang keanggotaannya, memperingkatkan pemustaka akan jatuh tempo pinjaman koleksi digital perpustakaan yang dipinjamnya. Sehingga dengan ini pemustaka bisa menyelesaikan segera hal-hal yang harus dibaca dan diselesaikan sebelum koleksi digital tersebut ditarik secara otomatis oleh sistem aplikasi perpustakaan digital ketika sampai pada tanggal jatuh tempo peminjamannya.

Bahkan lebih lanjut, dengan adanya basis data yang terpadu dan terintegrasi, pemustaka tidak harus berulang-ulang mengisi semua data daring yang sama untuk keperluannya yang berbeda. Pemustaka  tinggal menambahkan, mengurangi, atau mengkonfirmasi data yang ada untuk mendapatkan akses dari layanan atau program terbaru di perpustakaan secara daring. Bahkan ke depannya pemustaka akan bisa menikmati beragam layanan dan program perpustakaan semudah melakukan swafoto dengan gawai mereka.

Tak Harus Ke Perpustakaan

Model pelayanan perpustakaan di masa depan, kehadiran fisik pemustaka ke perpustakaan bisa sangat minimal bahkan tidak ada sama sekali ketika perpustakaan menerapkan layanan daring perpustakaan berbasis swalayan (self Service) melalui berbagai sistem dan aplikasi perpustakaan digital. Hal ini tentu akan menguntungkan pemustaka dari segi waktu, biaya perjalanan, dan kemudahan ketika hendak melakukan akses terhadap koleksi dan layanan perpustakaan.

Layanan perpustakaan berbasis digital bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Sejak lebih dari dua dekade yang lalu, Indonesia telah mengembangkan teknologi perpustakan digital. Program pengembangan teknologi perpustakaan digital itu diprakarsai oleh Perpustakan Intitut Teknologi Bandung (ITB) bersama dengan Knowladge Management Research Group (KMRG) dan Computer Network Research Group (CNRG) sejak tahun 1998 lalu. Yang kemudian berhasil meluncurkan teknologi perpustakaan digital bernama Ganesha Digital Library (GDL) pada 2 Oktober 2000. Kemudian pada tahun 2003 Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI mengembangkan pula INLIS (Integrated Library System). Berselang empat tahun kemudian muncul software otomasi perpustakaan yang bernama SLiMS (Senayan Library Management System) yang dikebangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang dirilis ke publik pada tahun 2007. Menyusul kemudian ada INLIS Lite (yang merupakan versi ringan dari INLIS) dari Perpusnas RI yang diluncurkan pada tahun 2011. Tidak sebatas itu, bahkan saat ini di Indonesia telah mempunyai wadah penelitian dan pengkajian perpustakaan digital yang bernama KPDI (Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia) yang telah berjalan sejak tahun 2008 yang lalu. KPDI yang diprakarsai oleh Perpustakaan Nasional RI selalu mengadakan kegiatan pertemuan rutin berskala nasional setiap tahun untuk menghasilkan rekomendasi pengembagan Kerangka Kerja Nasional Perpustakaan Digital Indonesia.

Tiga Tantangan

Namun tidak kita pungkiri pula, bahwa jalan untuk menuju perpustakaan DILAN di Indonesia masih cukup panjang. Hal ini karena masih cukup banyak kondisi yang mengganjal akselerasi perpustakaan DILAN. Tantangan terbesarnya adalah masih cukup lebarnya kesenjangan infrastruktur dan pengetahuan antar kelompok masyarakat maupun antar wilayah di Indonesia. Kita tahu, literasi digital masyarakat kita masih teramat rendah. Selain itu, infrastruktur pendukung perpustakaan DILAN seperti tersedianya jaringan internet berkecepatan tinggi belum bisa dinikmati semua daerah di Indonesia. Masih sangat banyak daerah di Indonesia yang bahkan tidak memiliki jaringan listrik.

Tantang lainnya adalah belum banyak instansi perpustakaan yang memiliki pemimpin visioner yang berwawasan dan berorientasi digital. Tanpa adanya pimpinan lembaga yang memiliki visi digital, akan sangat sulit bagi perpustakaan untuk berkembang ke arah perpustakaan DILAN.

Dan momentum pandemi Covid 19 ini bisa menjadi titik balik yang sangat tepat untuk menyelesaikan ketiga tantang tersebut di atas. Masyarakat bisa mulai dikenalkan dan diberikan edukasi tentang dunia digital, para pemangku kepentingan bisa mulai membangun, menyiapkan dan memperbaiki infrastruktur pendukung digitalisasi perpustakaan seperti ketersediaan jaringan listrik dan internet yang baik di seluruh wilayah Indonesia, serta para pimpinan lembaga perpustakaan harus mulai membangun visi dan wawasan digital mereka karena sebagaimana dipaparkan di awal tulisan ini, bahwa Pelayanan perpustakaan secara digital akan menggantikan pelayanan perpustakaan secara fisik, bukan hanya sementara, melainkan untuk seterusnya.

Yogyakarta, 16 Agustus 2020 

Teguh Prasetyo Utomo


Post a Comment

2 Comments

  1. Assalamu'alaikum
    kak, mau tanya masalah slims
    kenapa ya pas saya mau cetak label dan barkode, yang diceklis sama yang keluar beda, malah lebih dari jumlah yang kita ceklis?
    itu masalahnya dimana ya kak?
    makasih sebelumnya

    ReplyDelete