[Opini] Akibat Disrupsi, Profesi Pustakawan Takkan Ada Lagi (?)


Disrupsi... Apa itu Disrupsi? Mungkin ini pertama kali kita mendengar (membaca) kata Disrupsi. Disrupsi (Inggris : Disruption) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai disrupsi/dis·rup·si/ n hal tercabut dari akarnya. Dalam sebuah buku yang saya baca (karena sejujurnya, saya sendiri juga baru-baru ini mengetahui kata dan isu krusial tentang Disrupsi ini, yang saat ini semakin banyak disebut dengan Era Disrupsi) Disrupsi diartikan sebagai perubahan yang sangat mendasar sebagaimana telah terjadi di berbagai industri, seperti musik, surat-menyurat, media cetak, dan transportasi publik, seperti taksi (Oey-Gardiner et al, 2017 : 2).

Lantas apa hubungannya dengan hilangnya profesi Pustakawan? Menarik sekali sebenarnya pembahasan ini. Dan sejujurnya, saya cukup terhenyak, kaget, dan ada kecemasan juga ketika membaca pesan-siaran (broadcast messeging) tentang tulisan Prof. Rhenald Kasali dari beberapa grup WA yang kemudian saya coba telusuri, termyata bersumber dari ulasan beliau di sebuah situs web surat kabar nasional ternama, Kompas. Tulisan tersebut berjudul : Inilah Pekerjaan Yang akan Hilang Akibat "Disruption" (silahkan klik dan dibaca dengan seksama).

Dalam tulisan tersebut, secara runtut dan padu Prof. Rhenald Kasali memaparkan tentang dimulainya sebuah era baru yang dalam istilah Oey-Gardiner disebut Era Disrupsi. Sebuah era di mana terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam setiap lini kehidupan di dunia ini, terutama di sektor industri (seperti yang telah dipaparkan dalam penjelasan pada paragraf pertama di atas) yang utamanya dikarenakan terjadinya perubahan dan perkembangan yang luar biasa dalam bidang teknologi.

Bahkan dikatakan dalam tulisan Prof. Rhenald Kasali tersebut, dengan pencepatan teknologi seperti saat ini, hingga tahun 2030, sekitar 2 miliar pegawai di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan. Perlahan-lahan teknologi menggantikan tenaga manusia. Tak hanya mengganti otot. Manusia juga menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya. Seperti misal kita sudah mulai melihat robot dipakai untuk memasuki rumah yang dikuasai teroris dan memadamkan api.

Maka sejak itulah kita akan menyaksikan pekerjaan-pekerjaan yang eksis 20 tahun lalu pun perlahan-lahan akan pudar. Setelah (hilangnya) petugas pengantar pos, diramalkan penerjemah dan PUSTAKAWAN akan menyusul.

Teknologi juga (telah mulai) menggantikan jarak sehingga pusat-pusat belanja yang ramai dan macet tiba-tiba sepi karena konsumen memilih belanja dari genggaman tangannya (online shopping) dan barangnya datang sendiri. Dalam hal konteks kepustakawanan, teknologi semakin memudahkan konsumen perpustakaan (baca: Pemustaka) untuk mendapatkan informasi secara cepat, tepat, dan akurat dalam hitungan detik tanpa harus mereka beranjak dari tempat duduk mereka.

Ya, betul.. Dengan gawai (gadget) yang ada di genggaman mereka, para konsumen (pemustaka) ini sudah sangat leluasa untuk mencari, menelusur, dan mendapatkan informasi apapun. Ya.. Apapun. Baik itu melalui mesin pencari (search engine) maupun melalui aplikasi perpustakaan digital yang saat ini sudah mulai menjamur. Dan jika demikian, alasan apalagi yang masih bisa digunakan masyarakat untuk mempertahankan profesi pustakawan? Minimal, masih mengakui dan merasa membutuhkan hadirnya seorang Pustakawan.

Maka, di dalam salah satu ahir paragraf artikelnya, Prof. Rhenald Kasali menyampaikan, "Kita tentu perlu memikir ulang pekerjaan-pekerjaan yang kita tekuni hari ini." Dan seperti yang disampaikan sahabat saya Mas Purwoko dalam artikelnya yang sangat menarik bahwa Pustakawan Bukan Siapa-Siapa.

Yogyakarta
24 Okober 2017


***


Post a Comment

0 Comments