Mencerdaskan Dan Memberdayakan Masyarakat Melalui Perpustakaan Desa


Mencerdaskan Dan Memberdayakan Masyarakat Melalui Perpustakaan Desa

Teguh Prasetyo Utomo*

(Disampaikan dalam Acara Launching dan Sosialisasi Perpustakaan Desa “Wiji Pustaka” Desa Wijirejo, Kec. Pandak, Kab. Bantul, DIY)

Pengantar

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Data UNDP(United Nations Development Programs) tahun 2014 mencatat bahwa tingkat kemelek-hurufan masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja. Capaian ini sebenarnya menunjukkan bahwa Indonesia telah melewati tahapan krisis literasi dalam pengertian kemelek-hurufan. Masalah bangsa kita saat ini bukan lagi tentang bagaimana masyarakat bisa membaca. Akan tetapi justru masalah dan tantangan terbesar yang saat ini dihadapi oleh bangsa kita adalah rendahnya minat baca. Selain ketersediaan buku di seluruh Indonesia belum memadai, pemerintah juga menghadapi rendahnya motivasi membaca di kalangan masyarakat di negeri kita ini. Hal ini cukup memprihatinkan karena di era teknologi informasi, masyarakat dituntut untuk memiliki kemampuan membaca dalam pengertian memahami teks secara analitis, kritis, dan reflektif.

Beberapa waktu yang lalu, The World’s Most Literate Nations (WMLN) merilis daftar peringkat negara-negara berwawasan literasi. Penelitian yang dilakukan oleh Jhon W. Miller (Presiden Central Connecticut State University, New britain) ini dilakukan terhadap 61 negara di dunia. Dan hasilnya adalah, negara kita berada pada peringkat kedua. Bukan pada peringkat kedua dari atas, melainkan peringkat kedua dari bawah, yaitu pada uruttan 60 dari 61 negara yang diteliti. Bahkan kita kalah dengan tetangga kita Thailand yang menduduki peringkat 59, Malaysia dengan peringkat 53, Singapura pada posisi 36, serta Australia pada posisi 16.

Tentu saja ini merupakan suatu hal yang sangat memprihatinkan kita.Masyarakat global dituntut untuk dapat mengadaptasi kemajuan teknologi dan keterbaruan/kekinian. Deklarasi Praha (Unesco, 2003) mencanangkan pentingnya literasi informasi (information literacy), yaitu kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya.

Apa dan Bagaimana Pentingnya Literasi Informasi?

Lantas jika demikian, apakah yang dimaksud dengan literasi informasi itu sendiri? Jika kita mengacu pada Deklarasi Alexandria pada tahun 2005 (sebagaimana dirilis dalam www.unesco.org) menjelaskan bahwa literasi informasi adalah: “kemampuan untuk melakukan manajemen pengetahuan dan kemampuan untuk belajar terus-menerus. Literasi informasi merupakan kemampuan untuk menyadari kebutuhan informasi dan saat informasi diperlukan, mengidentifikasi dan menemukan lokasi informasi yang diperlukan, mengevaluasi informasi secara kritis, mengorganisasikan dan mengintegrasikan informasi ke dalam pengetahuan yang sudah ada, memanfaatkan serta mengkomunikasikannya secara efektif, legal, dan etis.”

Kebutuhan literasi di era global ini menuntut pemerintah untuk menyediakan dan memfasilitasi sistem dan pelayanan pendidikan sesuai dengan UUD 1945, Pasal 31, Ayat 3, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Ayat ini menegaskan bahwa program literasi juga mencakup upaya mengembangkan potensi kemanusiaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosi, bahasa, estetika, sosial, spiritual, dengan daya adaptasi terhadap perkembangan arus teknologi dan informasi. Upaya ini sejalan dengan falsafah pendidikan yang dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan harus melibatkan semua komponen masyarakat (keluarga, pendidik profesional, pemerintah, dll.) dalam membina, menginspirasi/memberi contoh, memberi semangat, dan mendorong perkembangan anak. Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya.

Sayangnya, perpustakaan sekolah, sebagai ujung tombak gerakan literasi di lingkungan sekolah juga masih belum maksimal dalam menjalankan peran dan fungsinya. Kita bisa lihat bagaimana perpustakaan sekolah sendiri saat ini masih terbelenggu dengan berbagai permasalahannya, seperti yang bisa kita lihat dan sering kita temui bagaimana sulitnya perkembangan perpustakaan sekolah. Hal ini dikarenakan berbagai faktor seperti karena kurangnya perhatian dan kesadaran sekolah pada perpustakaan, belum adanya tenaga profesional (pustakawan) yang mengelola perpustakaan sekolah, hingga terbatasnya jam atau waktu kunjungan bagi siswa ke perpustakaan sekolah. Lho... kok bisa? Iya, mari kita lihat, hampir semua perpustakaan sekolah memiliki jam layanan yang sama dengan jam KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) sekolah. Jika KBM sekolah setiap harinya dimulai jam 07.00 sd 13.00, maka seperti itu pula jam layanan perpustakaan di sekolah tersebut. Lantas kapan siswa memiliki waktu untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah? Saat istirahat? Saat jam kosong? Atau dengan menetapkan jam kunjung ke perpustakaan?

Tentu saja itu semua kurang efektif dan tidak akan maksimal. Kecuali jika perpustakaan sekolah mampu menyediakan jam layanan ekstra, semisal perpustakaan sekolah buka setengah jam sebelum pelajaran dimulai, dan tutup satu atau dua jam setelah jam KBM berahir. Sehingga siswa dan warga sekolah (guru dan pegawai) memiliki waktu yang lebih leluasa untuk mengakses perpustakaan dan memanfaatkan koleksi yang ada di dalamnya. Akan tetapi, berapa banyak perpustakaan sekolah yang sudah menerapkan hal ini? Karena saya sendiri yakin, belum banyak perpustakaan (dan pustakawan sekolah) yang mampu dan mau memberikan layanan ekstra seperti ini.

Perpustakaan Desa sebagai Solusi

Lantas bagaimana solusinya? Tentu saja, dibutuhkan suatu sentra kegiatan literasi yang bisa melayani para siswa (dan juga masyarakat) dengan lebih baik, terutama dalam hal waktu pelayanan. Dan perpustakaan desa adalah jawabannya.
Perpustakaan desa menjadi solusi karena bisa menyediakan jam buka layanan yang lebih banyak dibanding dengan perpustakaan sekolah. Dengan segmentasi pemustaka yang lebih luas, bukan hanya bagi siswa sekolah, tapi juga mencakup seluruh lapisan masyarakat, layanan dan koleksi yang ada di perpustakaan desapun akan lebih beragam. Sehingga dengan pengelolaan yang baik dan optimal, perpustakaan desa akan memiliki potensi yang besar dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui gerakan literasi dan beragam kreasinya.

Apa itu Perpustakaan Desa?

Dalam UU No. 43 Tahun 2007 pada bagian kedua pasal 16 disebutkan dengan jelas, bahwa Perpustakaan Desa merupakan salah satu jenis perpustakaan umum yang menjadi kewajiban pemerintah desa. Keberadaan perpustakaan desa ini memiliki peran yang sangat strategis jika dalam pengelolaannya dilakukan dengan baik dan profesional. Perpustakaan desa bisa menjadi pusat informasi dan ujung tombak gerakan literasi di masyarakat di desa tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, perpustakaan desa bisa menjadi lokomotif pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang kreatif, kritis, berdaya, dan mandiri melalui informasi dan ragam kegiatan dan layanan yang diadakan oleh perpustakaan desa.

Selain itu, jika kita melihat setahun ke belakang, merujuk pada laporan Litbang Kompas (14/09/2015) pada jajak pendapat “Dana Desa Bangkitkan Keyakinan”, terungkap bahwa mayorias publik (62,6%) meyakini pemerintah dengan berbagai gerakannya akan mampu memajukan kondisi pedesaan. Tentu saja keyakinan paublik ini menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi pemerintah untuk membangun desa secara maksimal. Dengan begitu, masyarakat pun diharapkan untuk bisa ikut serta nyengkuyung berbagai program pembangunan desa yang dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah dengan berpartisipasi aktif dan bersinergi dalam pemberdayaan masyarakat melalui perpustakaan desa ini.

Menengok Kondisi Perpustakaan Desa di Indonesia

Selama ini kita lihat kondisi perpustakaan desa di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Sebagian besar di antaranya masih bernaung di kantor kelurahan/desa, dengan buku dan koleksi yang tidak terurus bahkan banyak yang hilang, dalam pengelolaannya terkesan kaku dan tidak terbuka (karena lokasinya yang berada di kompleks perkantoran pemerintahan desa/kelurahan) menjadikan masyarakat merasa segan sekaligus enggan untuk memanfaatkan perpustakaan desa. Dan ini yang harus dirubah. Melihat realita ini, pengelola perpustakaan desa harus bisa menjadikan citra perpustakaan desa lebih baik di mata masyarakat, serta memiliki inovasi dan kreasi dalam pengelolaannya.

Menurut Murniaty dalam Strategi Pengembangan Perpustakaan Desa/Kelurahan di Indonesia (2014), pertumbuhan perpustakaaan desa belum sebanding dengan jumlah desa yang ada di Indonesia. Dari data badan Pusat Statistik (BPS), total desa pada tahun 2013 adalah sejumlah 79.095, sementara menurut Dedy Junaidi (dalam Murniaty) total perpustakaan desa/kelurahan yang ada di Indonesia pada tahun 2014 adalah sejumlah 24.745 atau hanya sejumlah 31,28% saja dari jumlah seluruh desa yang ada di negeri ini. Itu artinya masih ada 67,72% desa yang belum memiliki perpustakaan desa.
Selain itu, kita juga bisa melihat masih rendahnya komitmen dari para stake holder (pemangku kebijakan) dalam hal pengembangan perpustakaan desa. Padahal ketika perpustakaan desa dikembangkan dan dikelola dengan baik maka akan bisa menjadi wahana bagi masyarakat dalam pengembangan dan pemberdayaan kreatifitas dan karya masyarakat. Perpustakaan desa bisa menjadi pusat ilmu pengetahuan dan informasi yang bisa menjadi alternatif utama bagi masyakarat yang mencari rujukan dalam beragam kebutuhan kehidupannya. Untuk itu penting kiranya perpustakaan desa benar-benar bisa dikelola secara profesional, kreatif, dan inovatif oleh para pustakawan pengelolanya.

Apa Yang Bisa Dilakukan Perpustakaan Desa?

Sebenarnya sudah cukup banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai teladan dalam pengelolaan perpustakaan desa ini, seperti misal perkembangan taman baca masyarakat (TBM) yang dikelola secara mandiri/swadaua oleh individu maupun komunitas yang ada di masyarakat. Selain itu juga banyak perpustakaan desa yang mulai tumbuh dengan dukungan dari komunitas dan lembaga sosial serta perusahaan-perusahaan swasta melalui program CSR (Corporate Social Resonsibility)-nya. Perpustakaan-perpustakaan yang berbasis kemasyarakatan ini (baik TBM maupun perpustakaan desa) bisa dijadikan acuan dalam pengelolaan perpustakaan desa dan konsep kegiatannya. Karena banyak perpustakaan desa yang terbukti mampu menjadi pusat permberdayaan masyarakat melalui beragam program dan layanan yang ada padanya.

Jika merujuk pada hal tersebut, jangan sekali-sekali terpikirkan bahwa perpustakaan desa hanya sekedar melakukan rutinitas peminjaman-pengambalian buku. Pengelola perpustakaan desa “haram” hukumnya jika hanya melakukan kegiatan teknis rutin seperti pengadaan buku, pengeolahan buku (seperti inventarisasi koleksi, klasifikasi, pembuatan label buku, input data buku ke sistem otomasi perpustakaan, dsb). Jika hanya hal-hal itu yang dilakukan, sudah bisa dipastikan perpustakaan desa tak ubahnya seperti tempat rental VCD/DVD.

Perpustakaan desa harus dikelola dengan kreatif, inovatif, dan profesinal dengan beragam kegiatan penunjang (selain kegiatan inti, yaitu layanan sirkulasi koleksi perpustakaan) yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Contohnya, selain memfasilitasi penyediaan bacaan dan sebagai pusat informasi, perpustakaan desa bisa melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti memberikan pelatihan/workshop bagi masyarakat. Misal pelatihan/workshop kerajinan tangan, pelatihan usaha menengah (kreatif), pelatihan ketrampilan komputer dan internet (TIK), pengadaan bimbingan belajar bagi para pelajar yang ada di desa tersebut, pelatihan kebenulisan, bedah buku,pembuatan majalah dinding, lomba menulis, lomba resensi buku dan banyak lagi kegiatan yang bisa dilakukan. Tentu saja, sebisa mungkin ragam kegiatan tersebut selalu dikorelasikan (dikaitkan) dengan bahan pustaka dan sumber informasi yang ada di perpustakaan desa tersebut. Semisal : perpustakaan desa mengadakan pelatihan memasak anekan hidangan tradisional nusantara yang mana resep dan panduannya berasal dari koleksi yang ada di perpustakaan desa. Pun demikian ketika melakukan kegiatan bimbingan belajar bagi pelajar di desa tersebut, maka sebisa mungkin gunakan rujukan dan materi-materi yang berasal dari koleksi yang ada di perpustakaan desa tersebut. Sehingga minat baca dan budaya literasi akan pula tumbuh seiring dengan dilaksanakannya kegiatan-kegiatan tesebut.

Kesimpulan

Membangun desa memang bukan pekerjaan mudah, apalagi jika itu terkait dengan dengan pembangunan dan pemberdayaan sumberdaya manusianya. Menjadikan masyarakat yang cerdas, kritis, kreatif, serta berwawasan maju bukanlah hal yang bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan kerja keras, usaha yang cerdas, serta kreatifitas yang tiada batas dari berbagai elemen masyarakat di desa tersebut serta para pemangku kebijakan yang terkait. Perpustakaan desa sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat (long life education) bagi masyarakat desa merupakan pilihan yang tepat sebagai solusi permasalahan tersebut. Perpustakaan desa bisa menjadi wahana pendidikan terbuka dan sarana pemberdayaan bagi masyarakat. Melalui perpustakaan desa, pendidikan informal bisa terus didapatkan masyarakat dengan baik tanpa terbatas waktu, usia dan biaya. Maka sudah saatnya bagi kita untuk bersama-sama membangun dan mengembangkan perpustakaan desa, demi kemajuan desa kita, demi tercapainya cita-cita negara kita, yakni mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Mari kita bersinergi, guyub, sesarengan nyengkuyung pembangunan dan pengembangan perpustakaan desa sebagai wahana pemberdayaan masyarakat di desa kita.

*Penulis adalah Sekretaris PD ATPUSI (Pengurus Daerah Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) DIY, Kepala Perpustakaan SMPIT Abu Bakar Yogyakarta, Pengurus GPMB (Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca) Kota Yogyakarta, Pengurus FPSI (Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia) DIY, Aktifis Komunitas SLiMS (Senayan Library Management System) Jogja, Pembina Perpustakaan Desa Tirtoadi, Mlati, Sleman.

HP/WA : 087833112412
BBM : 5cef0ca9
Email : teguh.istimewa@gmail.com

Referensi
  1. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3.
  2. Undang Undang Republik Indoensia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan
  3. Murniaty. (2014). Strategi Pengembangan Perpustakaan Desa/Kelurahan di Indonesia. Medan : Universitas Sumatra Utara
  4. Pangesti, Wiedarti (2016). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta : Dirjend Dikdasmen Kemendikbud RI
  5. Yuliana, Rini DY. (2015). Dana Desa Bangkitkan Keyakinan. http://nasional.kompas.com/read/2015/09/14/15000091/Dana.Desa.Bangkitkan.Keyakinan
  6. Teguh, Prasetyo Utomo. (2016). Peringkat Negara Literasi di Dunia : No. 1 Finlandia, Lha Indonesia?. http://pustakawanjogja.blogspot.com/2016/03/peringkat-negara-literasi-di-dunia-no-1.html?m=1

Download artikel ini dalam bentuk PDF : Klik DI SINI

Post a Comment

4 Comments

  1. wih, lumayan proyeksinya. saya juga sedang gencar mengkampanyekan sadar baca untuk mengentaskan literasi.
    idenya mantap..... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Weh... mtur suwun sampun kerso mampir.... ^_^ Ayok mampir ke Jogja juga kapan2... ^_^

      Delete
  2. idenya yang keren!
    Semoga tercapai misinya untuk mengembangkan budaya literasi di desa agar masyarakat lebih cerdas dan berdaya:)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehehehe... Matur nuwun mbak... Salam kenal... Saya sudah buka blog njenengan... Keren dah..!

      Delete